Sabtu, 11 April 2015

PEMBAHASAN ANALISIS BIOEKIVALEN (BE) IN VITRO : UJI DISOLUSI TERBANDING

PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan analisis bioekivalen (BE) in vitro uji disolusi terbanding. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan profil disolusi berbagai obat generic yang sudah beredar dan membandingkan kemiripan (bioekivalen/BE) antar obat generic, karena banyaknya produk obat dengan zat aktif yang sama namun diproduksi dan dipasarkan oleh perusahaan yang berbeda. Baik itu berupa produk innovator (produk yang dipatenkan oleh pabrik penemu) maupun produk copy (produk yang memiliki zat aktif yang sama dan telah memenuhi standar ekuivalensi dengan produk innovator) memiliki profil bioavailabilitas obat berbeda dan menghasilkan efek farmakologi yang berbeda pula.
            Profil disolusi disini dibutuhkan sebagai dasar untuk menentukan bioekivalensi  dari suatu obat. Disolusi itu sendiri adalah jumlah atau persen zat aktif dari sediaan padat yang larut pada waktu tertentu dalam kondisi baku. Kondisi yang dimaksud disini adalah misalnya dalam suhu, kecepatan pengadukan, dan komposisi media tertentu, Uji disolusi merupakan suatu metoda fisika kimia yang penting sebagai parameter dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu sediaan obat yang didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan dan melarut zat aktif dari sediaannya.
            Uji disolusi terbanding digunakan untuk uji bioekivalen secara in vitro karena hasil uji disolusi berkolerasi dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh, sehingga dengan begitu kesetaraan sifat dan kerja obat di dalam tubuh suatu obat “copy” dibandingkan dengan obat innovator sebagai pembanding dapat terlihat. Uji disolusi terbanding juga dapat digunakan untuk memastikan kemiripan kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor dalam formulasi atau pembuatan setelah izin pemasaran obat. Pada praktikum uji disolusi terbanding ini digunakan produk obat Sanmol sebagai innovator sedangkan produk Humagesik, Termagol dan Dapirin sebagai obat copy.
Uji disolusi dilakukan di dalam sebuah medium yang dibuat sesuai dengan kondisi di dalam lambung atau usus sebagai tempat penyerapan obat. Medium yang digunakan adalah dapar HCl pH 1,2 karena sesuai dengan kondisi di lambung yang bersifat asam. Dapar HCl pH 1,2 dibuat dengan mengencerkan sejumlah HCl dengan aquadest yang sudah dipanaskan terlebih dahulu untuk menghilangkan senyawa O2 dan CO2 yang terkandung dalam aquadest. Dimana kedua senyawa ini berpengaruh terhadap kestabilan pH dapar yang akan dibuat karena bersifat sebagai oksidator.
Medium dapar HCl pH 1,2 ini dimasukan ke dalam alat disolusi obat sebanyak ±900 ml dan dipastikan waterbath pada alat disolusi telah mencapai suhu 37oC±0,5oC (suhu tubuh). Pengujian disolusi dilakukan pada 5 waktu yaitu, 10, 15, 20, 30 dan 45 menit. Dalam waktu 45 menit tersebut obat mengalami disolusi dan tiap waktunya dapat diketahui berapa kadar obat yang telah terdisolusi dalam medium.
Mekanisme disolusi obat secara umum di dalam tubuh  yaitu obat akan kontak dengan cairan tubuh, kemudian obat akan mengembang karena tekanan cairan yang masuk ke dalam obat. Kemudian obat tersebut akan hancur menjadi partikel-partikel yang akan larut dalam cairan tersebut. Mekanisme tersebut bekerja secara in vitro pada alat disolusi. Setelah 45 menit uji disolusi selanjutnya dilakukan kurva baku dari produk innovator, Sanmol, dengan nilai ppm 12,11,10,9,7 dan 6. Dari penentuan kurva baku didapatkan persamaan berikut.
Dengan menggunakan persamaan tersebut dapat diperoleh hasil persentase terdisolusi obat yang diuji, baik untuk obat innovator maupun obat copy.
Seperti obat innovator Sanmol, ketiga obat copy (Humagesik, Termagol dan Dapirin) diperlakukan sama, diuji disolusinya kemudian ditentukan nilai persentase terdisolusinya dari variasi ppm yang sama. Nilai-nilai persentase terdisolusi yang didapat dari masing-masing obat copy itu dibandingkan dengan persentase terdisolusi obat innovator melalui persamaan faktor similaritas berikut.
Dari serangkaian perhitungan, didapat hasil factor similaritas antara obat copy terhadap obat innovator sebagai berikut.
Obat Copy
F2
Humagesik
24.32
Dapirin
36.18
Termagol
49.79
Dari ketiga data factor similaritas yang didapat, ketiga obat copy tidak similar terhadap obat innovator, Sanmol. Ketidaksimilaran ini dapat disebabkan oleh banyak factor, salah satunya sifat fisika kimia obat seperti kelarutan yang belum sempurna. Setiap obat memiliki waktu disolusi yang berbeda dikarenakan perbedaan zat tambahan yang digunakan baik jenis zat tambahannya maupun jumlah zat yang ditambahkan dalam formula obat.

Dilihat dari nilai persentase disolusi berdasarkan proses pengujian yang dilakukan, dari ketiga obat copy memiliki persentase disolusi yang kurang baik yaitu 39,19 untuk humagesik, 75,70 untuk dapirin dan 62,04 untuk termagol, dimana persentase disolusi yang baik menurut USP adalah sekitar 80% pada menit ke 45. Sehingga apabila persentasi disolusi dari suatu obat  tergolong buruk, maka kemungkinan similar dengan produk obat inovatornya pun kecil.